Jurnalisme Warga : Siapapun Dapat Menjadi Wartawan

Jurnalisme Warga : Siapapun Dapat Menjadi Wartawan – Jurnalisme Online membawa perubahan penting dalam ranah dunia jurnalistk, bukan saja dari isi media dan sajian, tapi juga dalam praktisinya atau wartawannya. Citizen Journalism atau Jurnalisme Warga dimana warga memainkan peran dalam penyampaian informasi ke kalayak.

Kini, berkat jurnalistik online, setiap orang dapat menjadi wartawan (everyone can be journalist) yang dikenal dengan konsep citizen journalism (Jurnalisme Warga).

Citizen Journalism dapat didefinisikan sebagai praktik jurnlistik yang dilakukan oleh warga biasa, bukan wartawan profesional yang bekerja untuk lembaga media. Kehadiran blog dan media sosial menjadikan setiap orang dapat menjad wartawan dalam pengertian juruwarta atau penyebar inforamsi sendiri ke publik.

Ada istilah public journalism atau civic journalism yang semakna dengan istilah citizen journalism, yaitu laporan/pemberitaan by the people (oleh publik) sehingga jurnalistik atau pemberitaan informasi tidak dimonopoli lagi oleh lembaga media dan wartawan.

Media yang digunakan oleh citizen journalism bermacam-macam jenisnya, mulai dari kolom komentar di laman berita hingga blog pribadi yang juga bagian dari jurnalistik online. JD Lasica, dalam Online Journalism Review (2013), mengkategorikan media citizen journalism ke dalam enam tipe, yaitu:

  1. Audience participation
  2. Independent News and Information Website
  3. Full-fledged participatory news site
  4. Collaborative and Contributory Media Sites
  5. Other kinds of “thin media”
  6. Personal broadcasting sites

Citizen journalism kian mendapat tempat ketka lam-laman ternama seperti Kompas online dan Detikcom menyediakan fasilitas blog bagi pembacanya (kompasiana dan blogdetik).

Momentum perkembangan sekaligus “unjuk kekuatan” citizen journalism adalah ketika dunia digegerkan oleh berita serangan terhadap menara kembar WTC di New York, Amerika Serikat, yang dikenal dengan serangan 11 September 2001 (9/11). Penyebaran berita bermula dari gambar amatir yang diambil seorang warga yang kebetulan berada di dekat lokasi kejadian.

Di Indonesia, yang disebut-sebut momentum perkembangan pesat citizen journalism terjadi tahun 2004 ketika terjadi Aceh dilanda Tsunami dahsyat yang diliput sendiri oleh masyarakat korban Tsunami tersebut. Berita langsung dari korban dapat mengalahkan berita yang dibuat oleh jurnalis profesional. Bahkan, video yang dibuat warga saat kejadian ditayangkan ulang oleh stasiun televisi.

Video tersebut hasil rekaman Cut Putri, perihal detik-detik ketika Tsunami 26 Desember 2004, dan ditayangkan Metro TV dua hari setelah kejadian kala itu. Hasil rekaman perempuan berdarah Aceh yang pada saat tsunami melanda dirinya kuliah di salah satu perguran tinggi di Bandung itu dianggap sebagai tonggak sejarah penting perkembangan citizen journalism di Indonesia.

Hasil rekaman Cut Tari diatas tidak hanya menyentakkan kesadaran publik tentang kedahsyatan Tsunami di Aceh kala itu, namun juga menyadarkan semua pihak bahwa warga biasa – dalam arti bukan wartawan/jurnalis profesional – pun berperan penting dalam menyebarkan berita atau informasi penting di sekitarnya.

Kalangan media kian menyediakan ruang dan tampat untuk menayangkan dan mempublikasikan beritadan informasi warga. HIngga kini stasion televisi masih sering menayangkan video amatir dalam pemberitaan sejumlah peristiwa.

Menurut Mark Glaser, seorang freelance journalist, seperti pada Wikipedia, ide di balik citizen journalism adalah bahwa orang tanpa pelatihan jurnalisme profesional dapat menggunakan alat-alat teknologi modern dan distribusi global dari internet untuk membuat dan menyebarkan informasi, juga mengoreksi berita yang ada di media online.

Misalnya, seseorang menulis tentang perteuan dewan kota di blog atau di sebuah forum online, atau memeriksa fakta sebuah artikel surat kabar media mainstream dan menunjukkan fakta kesalahan atau biasnya berita tersebut pada blog atau dikolom komentar. Tidak hanya berupa teks, citizen journalism juga dapat diproduksi dalam bentuk multimedia audio-video yang dapat diunggah dan disebar luas lewat laman online, semisal YouTube atau sejenisnya.

Citizen journalism turut mengembangkan “media baru”(new media) dengan bermunculannya blog-blog pribadi yangjugabisa tampil layaknya situs berita. Teoritisi media baru,Terry Flew (pakar Media dan Komunikasi di QueenslandUniversity of Technology Brisbane Australia), menyatakan,ada tiga unsur penting untuk kebangkitan jurnalisme wargadan media warga: penerbitan terbuka, editing kolaboratif,dan konten terdistribusi.

Gagasan warga negara biasa (publik) dapat terlibat dalamaktivitas jurnalistik muncul di Amerika Serikat. Kemuncul-an citizen journalism didorong ketidakpuasan publik Amerikaterhadap pemberitaan media-media mainstream yang men-dorong mereka menciptakan sendiri berita versi mereka.Dengan kemajuan teknologi saat ini, gerakan jurnalistikwarga telah menemukan “kehidupan baru”. Masyarakatbiasa (bukan wartawan) dapat membuat berita danmendistribusikannya secara global. Kini setiap individu dapatdiberkomunikasi dengan individu lain dan jutaan orangseluruh dunia.

Citizen journalism telah melahirkan sejumlah “media indi”(indymedia), yaitu media alternatif dan berusaha memfasilitasimasyarakat untuk dapat mempublikasikan informasi yang mereka miliki.

Jurnalistik “oleh rakyat” (by the people) ini terusberkembang berkat fasilitas media sosial yang bermunculan,seperti weblog, ruang chatting (chat room), wiki, dan mobile computing.

Di Korea Selatan muncul situs OhmyNews yang sangatpopuler berkat motonya: “setiap warga adalah reporter”(Every Citizen is a Reporter). Surat kabar online ini didirikantahun 2000 sebagai media online pertama tempat publikdapat mengirimkan, mengedit, dan mempublikasikansendiri tulisannya. Hanya sekitar 20% konten situs tersebutditulis oleh 55 orang staf. Sebagian besar artikel ditulis olehkontributor lepas yang kebanyakan warga biasa. OhmyNewssekarang memiliki sekitar 50.000 kontributor.

Tren terbaru dalam citizen journalism telah memunculkanapa yang diistilahkan blogger Jeff Javris sebagai hyperlocaljournalism, yaitu situs berita online yang mengundangkontributor dari warga lokal untuk melaporkan topik yangcenderung diabaikan oleh media konvensional atau mediamassa mainstream.

Media demikian tidak lagi memerlukan “gatekeeper”(editor) yang menyeleksi dan menentukan apa yang pentingdiberitakan atau penentu sebuah berita dipublikasikan atautidak. Informasi yang berkembang pun bukan hasil pemikirandan perasaan” sebagian kecil orang yang dinamakan editoritu.Bukti terbaru kekuatan citizen journalism dapat disaksikandalam gema revolusi di sejumlah negara Arab tahun 2011-dikenal dengan sebutan aksi pemberontakan musim semi Arab (Arab Spring). Rezim berkuasa di Tunisia dan Mesirtumbang berkat aksi demonstrasi massal yang digerakkanoleh media sosial dan blog pribadi.

Citizen journalism mengubah peran publik yang selamaini menjadi “obyek berita” atau audiens menjadi sangat aktiflayaknya wartawan profesional.

Citizen journalism telah memainkan peran penting dalamsejumlah peristiwa besar dunia, seperti Tsunami Aceh danserangan gedung WTC 9/11 di Washington. Gambar dancerita dari jurnalis warga yang menjadi korban tsunamidan dekat dengan gedung WTC menawarkan konten yangmemainkan peran utama dalam cerita.

Demikian pula informasi aksi protes dalam pemilu Iran2009 dan aksi kerusuhan di Xinjiang Cina didapatkan daristatus facebook, twitter, dan blog warga karena wartawandilarang meliput dan memberitakannya.

Dapat dibayangkan, betapa kian dahsyatnya pengaruhcitizen journalism jika sang warga “sedikit” memiliki ilmu danketerampilan jurnalistik sehingga mampu menyajikan beritabagus, obyektif, akurat, dan enak dibaca layaknya berita mediamainstream.

Salah satu tantangan citizen journalism adalah soal akurasi,kredibilitas, dan ketaatan pada kode etik jurnalistik. Karenamerasa bukan wartawan, seorang blogger misalnya dapat”seenaknya” membuat dan menyebarkan tulisan di blognya.Lagi pula, tidak ada jaminan blogger menguasai teknik dankode etik dalam penulisan berita.

Warga biasa yang menulis berita di blognya tidak merasaharus menaati kode etik pemberitaan, kode etik jurnalistik,juga tidak memiliki “standar prosedur” sehingga menurunkankredibilitas berita yang disampaikannya.

Dari sisi citizen journalism inilah kelemahan utamajurnalistik online, yakni aspek kredibilitas ditambah akurasi-terutama penulisan kata (bahasa jurnalistik). Karena terburu-buru, wartawan online kemungkinan sedikit “ceroboh” dalampenulisan ejaan sehingga sering terjadi salah dalam penulisankata.Dari segi bahasa, citizen journalism “tidak terikat” dengankaidah bahasa, soal kata baku dan tidak baku, karena lazimnyacitizen journalist seperti blogger menggunakan bahasa tutur,slank, alias “seenaknya”.


Sumber Referensi : 
~ Jurnalistik Online : Panduan Praktis Mengelola Media Online, Asep Syamsul M. Romli, 2015.

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Scroll to Top